IJTIHAD
MAKALAH
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh
Dosen : Sholikhul Hadi, M. Pd
Disusun Oleh :
1.
Anis Shofwatin (
111216 )
2.
Ahmad Farid Anwar (
111217 )
3.
Sri Urifah (
111218 )
4.
Umi Nur Rochmatun ( 111219
)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2013
A.
Pendahuluan
Fiqih
merupakan ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci. Berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh yang membahas
tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat global serta membahas cara/metode
pengaplikasian dalil-dalil tersebut juga keadaan orang-orang yang boleh
menggunakan dalil-dalil tersebut. Dalam kata lain, fiqih lebih bersifat khusus
sedangkan Ushul Fiqh memiliki karakteristik ‘am yang menaungi segala urusan
fiqhiyah.
Salah
satu bab dari Ushul Fiqh tahap lanjut yakni ijtihad. Secara global, ijtihad
bisa diartikan sebagai sebuah tindakan bersungguh-sungguh, berusaha keras atau
mengerjakan sesuatu dengan susah payah.
Selanjutnya, akan dibahas lebih
lanjut mengenai ijtihad, urgensi serta perkembangannya. Banyak hikmah yang bisa
kita petik dari pembahasan bab ijtihad ini. Niscaya, dengan kebulatan keimanan
kita Insya Allah dengan adanya ijtihad akan semakin mempertebal iman Islam kita
bukan justru membuat kerisauan dalam hati tentang konsistensi dalil. Semua
kembali terhadap pemahaman kaffah/menyeluruh kita terhadap suatu hal. Apabila
kita memahami benar-benar sebuah permasalahan syar’i secara detail dan
terperinci niscaya akan kita temukan mutiara indah yang bercahaya didalamnya,
sebuah timbal balik pengetahuan luar biasa untuk kita kuasai.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ijtihad ?
2.
Apa sajakah macam-macam ijtihad ?
3.
Bagaimana perkembangan ijtihad ?
4.
Bagaimana urgensi mengenai ijtihad ?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad
adalah bahasa arab berbentuk “mashdar” yang berasal dari kata dasar “ijtihada”,
artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan
susah payah.[1]
Sedangkan
menurut istilah, para ahli fiqih berbeda pendapat dalm memberikan definisi,
diantaranya yaitu: Menurut al-Syaukani Ijtihad adalah mencurahkan sekedar
kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang bersifat operasional
(pengamalan) dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath). Imam al-Amidi
beranggapan bahwa, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk
mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya merasa tidak mampu
lagi untuk mencari tambahan kemampuannya.
Menurut
para ahli, Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang
telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya tidak
mampu lagi untuk mencari kemampuannya.[2]
Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk
mengeluarkan (istinbath) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.[3]
Dari
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah menggunakan
segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan dzan. Dapat
diambil pengertian bahwa dalam masalah
ijtihad, ditemukan adanya beberapa unsur yang harus ada didalamnya, yaitu
sebagai berikut:
a. Mujtahid, yaitu orang
yang melakukan ijtihad.
b. Masalah yang
akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian sttus hukumnya.
c. Metode istinbath
(pengambilan kesimpulan pendapat)
d. Inatijah, yaitu hasil
atau kesimpulan hukum yang telah
diijtihadi.
Oleh
sebab itu, maka ijtihad dapat dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkan
beberapa ketentuan hukum dari dalil sebagai landasan pokoknya. Disamping itu
bisa dijadikan pula sebagai suatu metode untuk memberikan kepastian hukum yang
muncul akibat adanya tuntutan dan kepentingan dalam bermuamalah.[4][4]
2.
Macam-macam dan syarat ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi
dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i
a.
Ijtihad fardi ialah:
Artinya :
اَلاِجْتِهَادُ
الْفَرْدِيُّ هُوَ كُلُّ اجْتِهَادٍ
وَلَمْ يَثْبُتْ اِتِّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ فِيْهَا عَلَى رَأْيٍ فِى
الْمَسْئَلَةِ.
“setiap
ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan
atau beberapa orang namun tak ada keterangan bahwa semua Mujtahid lain
menyetujuinya dalam suatu perkara”
( Tasyri’ Islami : 115 )
Ijtihad yang
semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Muadz ketika Rasul
mengutus beliau untuk menjadi qa’di di Yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang
pernah Umar bin Khattab katakan kepada Abu Musa Al-Asyari, kepada Syuraikh
dimana beliau ( Umar ) dengan tegas mengatakan kepada syuraikh:
مَا لَمْ
يَتَبَيَّنْ لَكَ فِيْ السُّنَّةِ فَاجْتَهِدْ فِيْهِ رَأْيَكَ
Dan kata Umar
kepada Abu Musa Al-Asyari:
Artinya:
أَعْرِفِ
الْاَشْبَاهَ وَالْاَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُوْرِ عِنْدَ ذَلِكَ
“Kenalilah penyerupaan-penyerupaan dan
tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala urusan sesudah itu.”
b.
Ijtihad Jami’i ialah:
اَلْاِجْتِهَادُ الْجَمَاعِيُّ
هُوَ كُلُّ اجْتِهَادٍ اِتَّفَقَ الْمُجَاهِدُوْنَ فِيْهِ عَلَى رَأْيٍ فِى
الْمَسْأَلَةِ
Artinya:
“Semua
ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua Mujahidin” ( Ushulut Tasyri’ : 116 )
Ijtihad semacam
ini yang dimaksud oleh hadits Ali pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul
tentang suatu urusan yang menimpa
masyarakat yang itidak dikemukakan hukumnya dalam Al Qur’an dan As Sunah.
Ketika Itu Nabi bersabda:
اِجْمَعُوْا
لَهُ الْعَامِلِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَاجْعَلُوْهُ شُوْرى بَيْنَكُمْ فِيْهِ
بِرَأْيٍ وَاحِدٍ
Artinya:
“Kumpulkanlan
orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu
dan jadikalah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah
kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.”
Disamping itu
Umar bin Khattab juga pernah berkata kepada Syuraikh :
Artinya:
وَاسْتَشِرْ
أَهْلَ الْعِلْمِ وَالصَّلاَحِ
“Dan
musyawarahkanlah ( bertukar pikiran ) dengan orang – orang yang saleh.”
Diriwayatkan
oleh Maimun bin Mihram bahwasanya Abu Bakar dan Umar apabila menghadapi suatu
hal yang tidak ada hukumnya dalam Al Quran dan As Sunah maka keduanya
mengumpulkan tokoh – tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka. Apabila
mereka telah menyepakati suatu pendapat, merekapun menyelesaikan hal itu dengan
pendapat tersebut.
Contoh lain
dari ijtihad jami’I ialah kesepakatan sahabat ketika mendukung atau mengangkat
Abu Bakar sebagai khalifah dan kesepakatan mereka terhadap tindakan Abu Bakar
yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Juga kesepakatan mereka dalam menerima
anjuran Umar sup aya Al Quran ditulis didalam mushaf, padahal yang demikian itu
belum pernah dilakukan oleh Rasul.
Kedua macam ijtihad
itu dibenarkan oleh syara’ dan sangat dihargai.
Imam Abul Hasan
Muhammad bin Yusuf berkata:
اِنَّ
النُّصُوْصَ الدِّيْنِيَّةَ وَاِنْ كَثُرَتْ فَاِنَّهَا تَنْحَصِرُ بِحَيْثُ لاَ
تَحْتَمِلُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا بَيْنَمَا الْحَوَارِثُ الَّتِيْ تَتَعَرَّضُ
لِلنَّاسِ غَيْرُ مُتَنَاهِيّةٍ وَلِمُوَاجَهَةِ الْحَوَارِثِ لاَبُدَّ مِنَ
الْجِهَادِ وَعَلَى هَذَا فَالْاِجْتِهَادُ ضَرُوْرِيٌ يُحَتِّمُهَا التَّطَوُّرُ
Artinya:
“sesungguhnya
nash - nash agama walaupun banyak namun memiliki keterbatasan dalam arti tidak
dapat menerima tambahan-tambahan lagi sedangkan kejadian yang dihadapi manusia tidak berkesudahan, masa
untuk menghadapi kejadian-kejadian itu
perlukembali pada ijtihad terhadap satu hal yang tidak dapat kita
hindari di dalam menghadapi setiap perkembangannya.”
Dengan demikian
benarlah apa yang dikatakan oleh para ulama-ulama Hambali bahwa tak satu masa
pun berlalu didunia ini kecuali di dalamnya ada orang-orang yang memopu
berijtihad.
Dengan adanya
orang berijtihad tersebut agama akan terjaga dan upaya pengecau agamapun dapat
dicegah. Imam Abu Zahrah berkata, “Kita tidak tahu siapa yang dapat menutup
pintu yang telah dibuka oleh Allah bagi perkembangan akal dan pikiran manusia.
Bila ada orang berkata pintu ijtihad tertutup maka harus menyertai dalilnya.”
Pendapat tersebut diatas berdasarkan
hal-hal berikut:[5]
1.
Beberapa ayat Al Quran
memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya dengan bebas atau dengan
kata lain Islam menjamin hurriyatul fikri wal aqli.
2.
Al Quran dan As Sunah memberikan bimbingan kepada manusia supaya
akal dan pikirannya tidak tersesat, dan juga memerintahkan supaya selama
hidupnya manusia selalu mencari ilmu.
3.
Al Quran tetap utuh dan terpelihara untuk selamanya.
4.
Bahan-bahan untuk memurnikan hadits dan sunah Nabi semakin lengkap.
5.
Ilmu alat untuk berijtihad semakin lengkap sehingga memberikan
kemudahan.
Termasuk dalam
pembaru( Mujadid) dan pembela yang haq ini ialah orang-orang yang mampu
berijtihad.
Menurut
jenisnya, mujtahid dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1.
Mujtahid Mutlak; (Mujtahid
Musyayar’i)
Seperti Imam
Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi, yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad
langsung secara keseluruhan dan Al Qur’an dan Hadits, dan seringkali mendirikan
madzhab sendiri seperti halnya pada sahabat imam yang empat, yaitu Syafi’I,
Hambali, Hanafi, dan maliki.
2.
Mujtahid Mazdhab; (Mujtahid
Fil Madzhab atau fatwa Mujtahid)
Yakni para
mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri,
tetapi dalam bebe apa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan
imamnya, misalnya, Imam Syafii tidak mengikuti pendapat gurunya Imm Maliki
dalam beberapa masalah.
3.
Mujtahid Fil Masail (
Ijtihad Parsial dalam cabang-cabang tertentu),
Yaitu orang-orang
yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti
keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab, misalnya, Hazairin
berijtihad tentang hokum kewarisan Islam. Mahmus Junus berijtihad tentang hokum
perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hokum kewarian dan hokum
lainnya, Prof. Dr. H.M Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam
4.
Mujtahid Muqadiyyad
Yaitu
orang-orang yang berijtihat yang mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama
salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan nama yang lebih utama dan menentukan
pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat
itu, begitupun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para
mujtahid yang diikuti, misalnya, Sayuti Thalib, S. H.
3.
Perkembangan Ijtihad
1.
Ijtihad dan Fiqih pada Masa Nabi SAW
2.
Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi
3.
Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasyidin
4.
Ijtihad dan Fiqih dimasa Umayyah
5.
Ijtihad dan Fiqih diMasa Abbas
6.
Ijtihad Dewasa ini
1.
Ijtihad Fiqih pada Masa Nabi SAW
Umat
Islam pada masa rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu masalah
yang baru, mereka medatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi
menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan pet unjuk
Ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hanya mempwegunakan
ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada
Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.
Sesudah
Nabi wafat, para ulama mulai melakukan Ijtihad, karena dirasa sangat perlu.
Mereka mulai memutar otak (nadhar) memikirkan soal-soalyang terjadi karena
wahyu telah putus. Memang mereka memerlukan ijtihad karena Al Quran sebagai
Undang-undang dasar yang kulli hanya menetapkan pokok-pokok
undang-undang yang umum (qawaaid kulliyah) yang dapat dipersesuaikan dengan
segala masa dan tempat, yang semuanya itu bertujuan menyelamatkan manusia baik
dunia ataupun di akhirat.
2.
Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW
Dengan meneliti
perjalanan sejarah Islam, terutama sejarah tasyri’nya, kita dapat menetapkan,
bahwa Ijtihad sesudah Nabi wafat adalah memlalui tiga periode:
a)
Periode sahabat bsar, periode Khulafaur Rasyidin
b)
Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di Masa bani Umayyah
c)
Periode tabiin dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa bani abbas
3.
Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasidin
Para sahabat besar, sepeninggal Rasul
mengahadapi berbagai permasahalan baru. Maka mereka melakukan istinbat
terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang
belum terjadi dan tidak member jawaban (fatwa) terhadap yang belum timbul.
Bila terjadi satu masalah, barulah mereka
melakukan Ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut, kepada:
1)
Al Quran,
merupakan sendi Islam, yang telah mereka pahami dengan sempurna karena Al Quran
itu diturunkan dalam bahasa merka disamping itu mereka pun dapat menyaksikan
sebab-sebab turunnya.
2)
Sunatur Rasul,
mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka percaya perawinya.
Abu bakar bila mengalami peristiwa
yang baru, beliau mencarinya dalam memperhatikan Al quran. Jika terdapat
didalamnya, beliau menetapkan hokum dengannya. Jika tidak terdapat didalamnya
beliau lalu mencarinya dalam hadits. Jika terdapat di Hadits, beliaupun
menetapkan hokum dengannya. Jika tidak mendapati hokum itu didalam hadits,
sesudah beliaua memeriksanya dengan seksama, beliau lalu bertanya kepada
sahabat. Jika ada seseorang sahabat yang memberitahukan tentang putusan nabi, beliaupun
berpegang kepadanya.
Umar juga menuruti jejak itu. Apabila
Umar tidak mendapatkan hokum dalam Al Quran dan Al Hadits, beliau bertanya
tentang penetapan yang dilakukan oelh Abu Bakar dan beliau mengamalkannya jika
penetapan Abu bakar itu tidak beliau temukan dalam sumber lain
Utsman dan Ali bersikap demikian pula.
Mereka sangat berhati-hati menerima riwayat. Diantaranya ada yang menerima
riwayat sesudah perawi disumpah dan ada yang meminta saksi.
Adapun cara Ijtihad yang mereka
terapkan adalah, sebagai berikut:
a)
Mengeluarkan hokum dengan dasar ra’yu perseorangan (Ijtihad
Fardi)
b)
Menetapkan hokum dengan cara mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
Apabila timbul soal-soal yang tidak ada
nash nya di dalam Al Quran dan Al hadits,para sahabat itu menjalankan ra’yu
atau mempergunakan pikiran dan daya akal, yakni “mendasarkan, hokum pada
kemaslahatan dengan bersendikan kaidah-kaidah umum.”
Apabila tidak mendapat hokum dalam
Kitab dan Sunnanh, abu Bakar mengumpulkan para ulama di kalangan sahabat dan
merembukkan permasalahan itu. Kemudian bila para ulama itu bermufakat
menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar pun menghukumi masalah itu menurut
pendapat yang disepakati. Pendapat yang diambil dengan perembukan harus diikuti
oleh rakyat. Mengeluarkan pendapat (menetapkan hukum) dengan jalan berkumpul
itu dinamakan ijma’.
Pada masa tersebut, jumlah mereka yang
dikumpulkan untuk berunding, masih sedikit. Tegasnya, melakukan ijma’
(menyatukan pendapat) sebagaimana yang dikehendaki ulama ushul masih dapat
dijalankan dengan mudah, yang sesuai dengan kehendak ahli politik.
Sikap Abu Bakar itu tidak ubahnya
seperti yang dilakukan oleh kepala Negara pada saat inin, yaitu memerintahkan
badan eksekutif dan legislatif bersidang untuk menetapkan
undang-undang yang harus dipatuhi oleh Negara dan masyarakat. Penetapan
badan-badan itu yang diambil dengan suara bulat dinamai ijma’.
Kesimpulannya, para sahabat yang
memegang Ijtihad (yang dapat dikatakan menjadi anggota badan perancang) pada
periode iini, mengeluarkan hokum dari dalil-dalilnya (Al Kitab dan Sunnah).
Sesudah menyelidikanya dengan seksama, barulah mereka mempergunakan
penyelidikan akal dan membuat keputusan yang sempurna.
Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang member
fatwa secara pribadi, tidak menentukan hokum untuk masalah yang belum terjadi.
Karena itu, pemakaian qiyas kurang terjadi dalam masaini. Bahkan sebagaian
mereka mencela pemakaian qiyas (dengan tdak memakai batas) dalam urusan
menetapkan hokum. Dan perlu ditegaskan
bahwa hokum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi dengan kekuatan
Ijtihad mereka masing-masing, tidak harus dituruti oleh rakyat.
Abu Bakar apabila berijtihad
mengatakan, “Ini pendapatku. Jika benar maka dia dari Allah. “Umar
apabila berijtihad mengatakan, “Inilah pendapat Umar. Jika benar maka dia
dari Allah. Jika salah, maka dia dari Umar sendiri. Sunah itu, hanyalah yang di
sunahkan Allah dan Rasul Nya; jangan kamu menjadikan pikiran yang salah, sunah
bagi rakyat.”
Adapun para ulama setelah masa sahabat
menetapkan pokok-pokok dengan memperhatikan sikap-sikap para sahabat dalam
menetapkan hokum bahwa “pokok-pokok pegangan” dalam menetapkan hokum dan
menciptakan hokum fiqih ada empat perkara.
1)
Kitabullah
2)
Sunatur Rasul
3)
Al Ijtihad (
Ar Ra’yu ) ; menetapkan suatu hokum berdasarkan kemaslahatan dan berdasarkan
kaidah syara’ yang umum dan illat-illat hokum.
4)
Al Ijma ;
menetapkan hokum dengan dimusyawarahkan bersama-sama, baik penetapan itu
berdasarkan kaidah pada keterangan Kitab, ataupun keterangan Sunah, maupun
ketetapan Ra’yu, Al Ijma adalah cara membuahkan hokum yang di
istinbatkan dari Al Quran dan As Sunah, secara tersendiri dan secara bersama.
4.
Urgensi ijtihad
Untuk menemukan
·
Karena ada
dalil dzanni dalalah
·
Perkembangan
kehidupan manusia[6][7]
Dalam hema kaimi mengatakan bahwa ijtihad
sangat dibtuhkan dalam kehidupan manusia yang serba menemukan hal baru dan
pastinya hal itu sangat membutuhkan hukum atau pedoman yang hal itu tidak ada
dalam al- qura’an ( sumber pengambilan hukum islam ) sehingga menuntut para
ulama’ untuk berijtihad.
·
Dari hemat
penulis, mengemukakan bahwa ijtihad sangat penting untuk menemukan kebenaran
suatu masalah yang belum ada nashnya.
DAFTAR PUSTAKA
drs, khoirul uman dkk. 2001 Ushul fiqh II, cv pustaka setia,
bandung,
Muhammad Ma’shum ,2008, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Hikmah, Jombang
Khairul Umam, 1998, Ushul Fiqh 2, Pustaka Setia, Bandung
trimakasih makalahnya
BalasHapus