Selasa, 28 Mei 2013

Makalah Ijtihad




IJTIHAD
MAKALAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh
Dosen : Sholikhul Hadi, M. Pd







Disusun Oleh :
1.      Anis Shofwatin                 ( 111216 )
2.      Ahmad Farid Anwar         ( 111217 )
3.      Sri Urifah                          ( 111218 )
4.      Umi Nur Rochmatun        ( 111219 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2013
A.    Pendahuluan
Fiqih merupakan ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat global serta membahas cara/metode pengaplikasian dalil-dalil tersebut juga keadaan orang-orang yang boleh menggunakan dalil-dalil tersebut. Dalam kata lain, fiqih lebih bersifat khusus sedangkan Ushul Fiqh memiliki karakteristik ‘am yang menaungi segala urusan fiqhiyah.
Salah satu bab dari Ushul Fiqh tahap lanjut yakni ijtihad. Secara global, ijtihad bisa diartikan sebagai sebuah tindakan bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.
            Selanjutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai ijtihad, urgensi serta perkembangannya. Banyak hikmah yang bisa kita petik dari pembahasan bab ijtihad ini. Niscaya, dengan kebulatan keimanan kita Insya Allah dengan adanya ijtihad akan semakin mempertebal iman Islam kita bukan justru membuat kerisauan dalam hati tentang konsistensi dalil. Semua kembali terhadap pemahaman kaffah/menyeluruh kita terhadap suatu hal. Apabila kita memahami benar-benar sebuah permasalahan syar’i secara detail dan terperinci niscaya akan kita temukan mutiara indah yang bercahaya didalamnya, sebuah timbal balik pengetahuan luar biasa untuk kita kuasai.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ijtihad ?
2.      Apa sajakah macam-macam ijtihad ?
3.      Bagaimana perkembangan ijtihad ?
4.      Bagaimana urgensi mengenai ijtihad ?


C.    Pembahasan
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah bahasa arab berbentuk “mashdar” yang berasal dari kata dasar “ijtihada”, artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.[1]
Sedangkan menurut istilah, para ahli fiqih berbeda pendapat dalm memberikan definisi, diantaranya yaitu: Menurut al-Syaukani Ijtihad adalah mencurahkan sekedar kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang bersifat operasional (pengamalan) dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath). Imam al-Amidi beranggapan bahwa, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya merasa tidak mampu lagi untuk mencari tambahan kemampuannya.
Menurut para ahli, Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya tidak mampu lagi untuk mencari kemampuannya.[2] Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan (istinbath) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.[3]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan dzan. Dapat diambil  pengertian bahwa dalam masalah ijtihad, ditemukan adanya beberapa unsur yang harus ada didalamnya, yaitu sebagai berikut:
a.       Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad.
b.      Masalah yang akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian sttus hukumnya.
c.       Metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat)
d.      Inatijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum yang  telah diijtihadi.
Oleh sebab itu, maka ijtihad dapat dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkan beberapa ketentuan hukum dari dalil sebagai landasan pokoknya. Disamping itu bisa dijadikan pula sebagai suatu metode untuk memberikan kepastian hukum yang muncul akibat adanya tuntutan dan kepentingan dalam bermuamalah.[4][4]

2.      Macam-macam dan syarat ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i
a.       Ijtihad fardi ialah:
Artinya :
اَلاِجْتِهَادُ الْفَرْدِيُّ هُوَ كُلُّ  اجْتِهَادٍ وَلَمْ يَثْبُتْ اِتِّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ فِيْهَا عَلَى رَأْيٍ فِى الْمَسْئَلَةِ.
“setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan  atau beberapa orang namun tak ada keterangan bahwa semua Mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara”
( Tasyri’ Islami : 115 )
Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Muadz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qa’di di Yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang pernah Umar bin Khattab katakan kepada Abu Musa Al-Asyari, kepada Syuraikh dimana beliau ( Umar ) dengan tegas mengatakan kepada syuraikh:
مَا لَمْ يَتَبَيَّنْ لَكَ فِيْ السُّنَّةِ فَاجْتَهِدْ فِيْهِ رَأْيَكَ

Dan kata Umar kepada Abu Musa Al-Asyari:
Artinya:
أَعْرِفِ الْاَشْبَاهَ وَالْاَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُوْرِ عِنْدَ ذَلِكَ
 “Kenalilah penyerupaan-penyerupaan dan tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala urusan sesudah itu.”
b.      Ijtihad Jami’i ialah:
اَلْاِجْتِهَادُ الْجَمَاعِيُّ هُوَ كُلُّ اجْتِهَادٍ اِتَّفَقَ الْمُجَاهِدُوْنَ فِيْهِ عَلَى رَأْيٍ فِى الْمَسْأَلَةِ
Artinya:
“Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua Mujahidin” ( Ushulut Tasyri’ : 116 )
Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan  yang menimpa masyarakat yang itidak dikemukakan hukumnya dalam Al Qur’an dan As Sunah. Ketika Itu Nabi bersabda:
اِجْمَعُوْا لَهُ الْعَامِلِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَاجْعَلُوْهُ شُوْرى بَيْنَكُمْ فِيْهِ بِرَأْيٍ وَاحِدٍ
Artinya:
“Kumpulkanlan orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikalah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.”
Disamping itu Umar bin Khattab juga pernah berkata kepada Syuraikh :
Artinya:
وَاسْتَشِرْ أَهْلَ الْعِلْمِ وَالصَّلاَحِ
“Dan musyawarahkanlah ( bertukar pikiran ) dengan orang – orang yang saleh.”
Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihram bahwasanya Abu Bakar dan Umar apabila menghadapi suatu hal yang tidak ada hukumnya dalam Al Quran dan As Sunah maka keduanya mengumpulkan tokoh – tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka. Apabila mereka telah menyepakati suatu pendapat, merekapun menyelesaikan hal itu dengan pendapat tersebut.
Contoh lain dari ijtihad jami’I ialah kesepakatan sahabat ketika mendukung atau mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah dan kesepakatan mereka terhadap tindakan Abu Bakar yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Juga kesepakatan mereka dalam menerima anjuran Umar sup aya Al Quran ditulis didalam mushaf, padahal yang demikian itu belum pernah dilakukan oleh Rasul.
Kedua macam ijtihad itu dibenarkan oleh syara’ dan sangat dihargai.
Imam Abul Hasan Muhammad bin Yusuf berkata:
اِنَّ النُّصُوْصَ الدِّيْنِيَّةَ وَاِنْ كَثُرَتْ فَاِنَّهَا تَنْحَصِرُ بِحَيْثُ لاَ تَحْتَمِلُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا بَيْنَمَا الْحَوَارِثُ الَّتِيْ تَتَعَرَّضُ لِلنَّاسِ غَيْرُ مُتَنَاهِيّةٍ وَلِمُوَاجَهَةِ الْحَوَارِثِ لاَبُدَّ مِنَ الْجِهَادِ وَعَلَى هَذَا فَالْاِجْتِهَادُ ضَرُوْرِيٌ يُحَتِّمُهَا التَّطَوُّرُ
Artinya:
“sesungguhnya nash - nash agama walaupun banyak namun memiliki keterbatasan dalam arti tidak dapat menerima tambahan-tambahan lagi sedangkan kejadian  yang dihadapi manusia tidak berkesudahan, masa untuk menghadapi kejadian-kejadian itu  perlukembali pada ijtihad terhadap satu hal yang tidak dapat kita hindari di dalam menghadapi setiap perkembangannya.”
Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh para ulama-ulama Hambali bahwa tak satu masa pun berlalu didunia ini kecuali di dalamnya ada orang-orang yang memopu berijtihad.
Dengan adanya orang berijtihad tersebut agama akan terjaga dan upaya pengecau agamapun dapat dicegah. Imam Abu Zahrah berkata, “Kita tidak tahu siapa yang dapat menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah bagi perkembangan akal dan pikiran manusia. Bila ada orang berkata pintu ijtihad tertutup maka harus menyertai dalilnya.”
Pendapat tersebut diatas berdasarkan hal-hal berikut:[5]
1.      Beberapa ayat Al Quran  memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya dengan bebas atau dengan kata lain Islam menjamin hurriyatul fikri wal aqli.
2.      Al Quran dan As Sunah memberikan bimbingan kepada manusia supaya akal dan pikirannya tidak tersesat, dan juga memerintahkan supaya selama hidupnya manusia selalu mencari ilmu.
3.      Al Quran tetap utuh dan terpelihara untuk selamanya.
4.      Bahan-bahan untuk memurnikan hadits dan sunah Nabi semakin lengkap.
5.      Ilmu alat untuk berijtihad semakin lengkap sehingga memberikan kemudahan.
Termasuk dalam pembaru( Mujadid) dan pembela yang haq ini ialah orang-orang yang mampu berijtihad.
Menurut jenisnya, mujtahid dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1.      Mujtahid Mutlak; (Mujtahid Musyayar’i)
Seperti Imam Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi, yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dan Al Qur’an dan Hadits, dan seringkali mendirikan madzhab sendiri seperti halnya pada sahabat imam yang empat, yaitu Syafi’I, Hambali, Hanafi, dan maliki.
2.      Mujtahid Mazdhab; (Mujtahid Fil Madzhab atau fatwa Mujtahid)
Yakni para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri, tetapi dalam bebe apa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya, Imam Syafii tidak mengikuti pendapat gurunya Imm Maliki dalam beberapa masalah.
3.      Mujtahid Fil Masail ( Ijtihad Parsial dalam cabang-cabang tertentu),
Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab, misalnya, Hazairin berijtihad tentang hokum kewarisan Islam. Mahmus Junus berijtihad tentang hokum perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hokum kewarian dan hokum lainnya, Prof. Dr. H.M Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam
4.      Mujtahid Muqadiyyad
Yaitu orang-orang yang berijtihat yang mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan nama yang lebih utama dan menentukan pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat itu, begitupun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti, misalnya, Sayuti Thalib, S. H.
3.      Perkembangan Ijtihad
1.      Ijtihad dan Fiqih pada Masa Nabi SAW
2.      Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi
3.      Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasyidin
4.      Ijtihad dan Fiqih dimasa Umayyah
5.      Ijtihad dan Fiqih diMasa Abbas
6.      Ijtihad Dewasa ini
1.      Ijtihad Fiqih pada Masa Nabi SAW
         Umat Islam pada masa rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu masalah yang baru, mereka medatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan pet unjuk Ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hanya mempwegunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.
         Sesudah Nabi wafat, para ulama mulai melakukan Ijtihad, karena dirasa sangat perlu. Mereka mulai memutar otak (nadhar) memikirkan soal-soalyang terjadi karena wahyu telah putus. Memang mereka memerlukan ijtihad karena Al Quran sebagai Undang-undang dasar yang kulli hanya menetapkan pokok-pokok undang-undang yang umum (qawaaid kulliyah) yang dapat dipersesuaikan dengan segala masa dan tempat, yang semuanya itu bertujuan menyelamatkan manusia baik dunia ataupun di akhirat.
2.      Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW
Dengan meneliti perjalanan sejarah Islam, terutama sejarah tasyri’nya, kita dapat menetapkan, bahwa Ijtihad sesudah Nabi wafat adalah memlalui tiga periode:
a)      Periode sahabat bsar, periode Khulafaur Rasyidin
b)      Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di Masa bani Umayyah
c)      Periode tabiin dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa bani abbas
3.      Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasidin
Para sahabat besar, sepeninggal Rasul mengahadapi berbagai permasahalan baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban (fatwa) terhadap yang belum timbul.
       Bila terjadi satu masalah, barulah mereka melakukan Ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut, kepada:
1)      Al Quran, merupakan sendi Islam, yang telah mereka pahami dengan sempurna karena Al Quran itu diturunkan dalam bahasa merka disamping itu mereka pun dapat menyaksikan sebab-sebab turunnya.
2)      Sunatur Rasul, mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka percaya perawinya.
          Abu bakar bila mengalami peristiwa yang baru, beliau mencarinya dalam memperhatikan Al quran. Jika terdapat didalamnya, beliau menetapkan hokum dengannya. Jika tidak terdapat didalamnya beliau lalu mencarinya dalam hadits. Jika terdapat di Hadits, beliaupun menetapkan hokum dengannya. Jika tidak mendapati hokum itu didalam hadits, sesudah beliaua memeriksanya dengan seksama, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Jika ada seseorang sahabat yang memberitahukan tentang putusan nabi, beliaupun berpegang kepadanya.
         Umar juga menuruti jejak itu. Apabila Umar tidak mendapatkan hokum dalam Al Quran dan Al Hadits, beliau bertanya tentang penetapan yang dilakukan oelh Abu Bakar dan beliau mengamalkannya jika penetapan Abu bakar itu tidak beliau temukan dalam sumber lain
         Utsman dan Ali bersikap demikian pula. Mereka sangat berhati-hati menerima riwayat. Diantaranya ada yang menerima riwayat sesudah perawi disumpah dan ada yang meminta saksi.
         Adapun cara Ijtihad yang mereka terapkan adalah, sebagai berikut:
a)      Mengeluarkan hokum dengan dasar ra’yu perseorangan (Ijtihad Fardi)
b)      Menetapkan hokum dengan cara mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
         Apabila timbul soal-soal yang tidak ada nash nya di dalam Al Quran dan Al hadits,para sahabat itu menjalankan ra’yu atau mempergunakan pikiran dan daya akal, yakni “mendasarkan, hokum pada kemaslahatan dengan bersendikan kaidah-kaidah umum.”
         Apabila tidak mendapat hokum dalam Kitab dan Sunnanh, abu Bakar mengumpulkan para ulama di kalangan sahabat dan merembukkan permasalahan itu. Kemudian bila para ulama itu bermufakat menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar pun menghukumi masalah itu menurut pendapat yang disepakati. Pendapat yang diambil dengan perembukan harus diikuti oleh rakyat. Mengeluarkan pendapat (menetapkan hukum) dengan jalan berkumpul itu dinamakan ijma’.
         Pada masa tersebut, jumlah mereka yang dikumpulkan untuk berunding, masih sedikit. Tegasnya, melakukan ijma’ (menyatukan pendapat) sebagaimana yang dikehendaki ulama ushul masih dapat dijalankan dengan mudah, yang sesuai dengan kehendak ahli politik.
         Sikap Abu Bakar itu tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kepala Negara pada saat inin, yaitu memerintahkan badan eksekutif dan legislatif bersidang untuk menetapkan undang-undang yang harus dipatuhi oleh Negara dan masyarakat. Penetapan badan-badan itu yang diambil dengan suara bulat dinamai ijma’.
         Kesimpulannya, para sahabat yang memegang Ijtihad (yang dapat dikatakan menjadi anggota badan perancang) pada periode iini, mengeluarkan hokum dari dalil-dalilnya (Al Kitab dan Sunnah). Sesudah menyelidikanya dengan seksama, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan membuat keputusan yang sempurna.
         Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang member fatwa secara pribadi, tidak menentukan hokum untuk masalah yang belum terjadi. Karena itu, pemakaian qiyas kurang terjadi dalam masaini. Bahkan sebagaian mereka mencela pemakaian qiyas (dengan tdak memakai batas) dalam urusan menetapkan hokum. Dan perlu ditegaskan  bahwa hokum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi dengan kekuatan Ijtihad mereka masing-masing, tidak harus dituruti oleh rakyat.
         Abu Bakar apabila berijtihad mengatakan, “Ini pendapatku. Jika benar maka dia dari Allah. “Umar apabila berijtihad mengatakan, “Inilah pendapat Umar. Jika benar maka dia dari Allah. Jika salah, maka dia dari Umar sendiri. Sunah itu, hanyalah yang di sunahkan Allah dan Rasul Nya; jangan kamu menjadikan pikiran yang salah, sunah bagi rakyat.”
         Adapun para ulama setelah masa sahabat menetapkan pokok-pokok dengan memperhatikan sikap-sikap para sahabat dalam menetapkan hokum bahwa “pokok-pokok pegangan” dalam menetapkan hokum dan menciptakan hokum fiqih ada empat perkara.
1)      Kitabullah
2)      Sunatur Rasul
3)      Al Ijtihad ( Ar Ra’yu ) ; menetapkan suatu hokum berdasarkan kemaslahatan dan berdasarkan kaidah syara’ yang umum dan illat-illat hokum.
4)      Al Ijma ; menetapkan hokum dengan dimusyawarahkan bersama-sama, baik penetapan itu berdasarkan kaidah pada keterangan Kitab, ataupun keterangan Sunah, maupun ketetapan Ra’yu, Al Ijma adalah cara membuahkan hokum yang di istinbatkan dari Al Quran dan As Sunah, secara tersendiri dan secara bersama.

4.      Urgensi ijtihad
Untuk menemukan
·         Karena ada dalil dzanni dalalah
·         Perkembangan kehidupan manusia[6][7]
Dalam hema kaimi mengatakan bahwa ijtihad sangat dibtuhkan dalam kehidupan manusia yang serba menemukan hal baru dan pastinya hal itu sangat membutuhkan hukum atau pedoman yang hal itu tidak ada dalam al- qura’an ( sumber pengambilan hukum islam ) sehingga menuntut para ulama’ untuk berijtihad.
·         Dari hemat penulis, mengemukakan bahwa ijtihad sangat penting untuk menemukan kebenaran suatu masalah yang belum ada nashnya.


DAFTAR PUSTAKA
drs, khoirul uman dkk. 2001 Ushul fiqh II, cv pustaka setia, bandung,
Muhammad Ma’shum ,2008, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Hikmah, Jombang
Khairul Umam, 1998, Ushul Fiqh 2, Pustaka Setia, Bandung





[1] Muhammad Ma’shum, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang  : Darul Hikmah, 2008), h1m. 39
[2] Ibid, hlm.139
[3] Khairul Umam, Ushul Fiqh 2, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 131
[4] Muhammad Ma’shum, Opcit, hlm. 140
[5] . drs, khoirul uman dkk. Ushul fiqh II, cv pustaa setia 2001, bandung, hal 138

1 komentar: